Banyak banget
asumsi di masyarakat bahwa seorang istri nggak boleh keluar rumah sama sekali
tanpa ijin suami, sekalipun mau jenguk orang tuanya yang sedang sakit keras.
Hadits ini nih yang biasa mereka jadiin penguat argumen yang artinya:
“Dari Anas bin Malik (ia berkata): Bahwa seorang suami pernah keluar (rumah)
dan ia perintahkan istrinya agar tidak keluar dari rumahnya. Dan bapak dari si
istri itu tinggal di bawah rumah sedangkan ia tinggal di atasnya. Lalu sakitlah
bapaknya, lalu dia mengirim utusan kepada Nabi Shalallahu alaihi wasallam
menerangkan keadaannya (ia dilarang keluar rumah oleh suaminya sedangkan
bapaknya saat ini sedang sakit). Bersabda Nabi Shalallahu alaihi wasallam,
‘Taatilah perintah suamimu.’ Lalu matilah bapaknya, ia pun mengirim utusan
kembali menerangkan keadaannya (ia dilarang keluar rumah oleh suaminya
sedangkan bapaknya saat ini telah wafat). Bersabda Nabi Shalallahu alaihi
wasallam, ‘Taatilah perintah suamimu.’ Lalu Nabi Shalallahu alaihi
wasallam mengirimkan utusan kepadanya (menyampaikan sabda beliau),
‘Sesungguhnya Allah telah mengampuni bapaknya karena ketaatannya kepada
suaminya.”
Ingat...!!! term-term normatif dalam islam, tidak
hanya dilihat secara harfiah aja lho... harus dicari dulu asbabun nuzul ato
asbabul wurudnya. Kalo nggak, maka kita bakalan menjastifikasi sebuah ‘amal
yang seharusnya hukumnya tidak seperti itu. Dengan kata lain, menghukumi sebuah
‘amal, tapi tidak sesuai dengan term-term normatif yang digunakan. Dalam
memahami term-term normatif, ada kaidah yang berbunyi: sebuah ‘ibarat ditinjau
dari sebab turunnya, bukan dari keumuman kalimatnya. Jadi nggak cukup cuma
dengan modal pinter cas cis cus ngomong bahasa Arab doang. Masih banyak
disiplin ilmu yang menunjang dalam pengambilan sebuah hukum dari sebuah term
normatif.
Okay... mengenai hadits di atas, hadits itu diriwayatin sama Imam Ath Thabany dalam kitabnya Mu’jam Al Ausath
yang di sanadnya ada seorang rowi dhoif bernama Ishmah bin Mutawakkil
sebagaimana dikatakan oleh Al Imam Al Haitsami di kitabnya, Al Majmauz
Zawaa’id (4/313). Dan syaikhul Imam Al Albani telah melemahkan hadits di
atas dalam Irwaul Ghalil (no 2014), karena kelemahan Ishmah bin
Mutawakkil dan gurunya, yaitu Zaafir bin Sulaiman. (dikutip dari kitab
Hadits-Hadits Dhoif dan Maudhu’ karya Ustadz Abdul Hakim Abdat, penerbit Darul
Qolam). Jadi hadits itu DLO’IF.
Kamal bin Hummam
dalam Fath al-Qadir berfatwa bahwa, “bila istri bermaksud menuntut hak
atau memenuhi kewajiban terhadap orang lain, seperti merawat orang sakit atau
pun memandikan mayat, maka dia diperbolehkan keluar, baik dengan izin suaminya
maupun tidak.” Menurutnya, hal-hal seperti itu tergolong fardhu kifayah
(kewajiban kolektif) yang tidak dapat dibatalkan oleh larangan suami. Karena
itu, keluar rumah lantaran memenuhi kewajiban kolektif itu dapat dibenarkan
menurut Syari’at.
Jadi, bila dalam
rangka memenuhi kewajiban (baik fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah),
maka seorang istri boleh keluar rumah tanpa izin suami. Wallaahu a’lam.