CUCI OTAK

Jumat, 10 Februari 2012

MEMBANGUN BUDAYA AKADEMIK

Posted by Rastaman Aswajais Palengaan 03.16, under | No comments

BAB I
PENDAHULUAN

Tujuan dan arah pendidikan Tinggi di Indonesia seperti yang tertuang pada Bab II pasal 2 Keputusan Menteri Pendidikan No.232/U/2000 adalah menyiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dalam menerapkan, mengembangkan, dan/atau memperkaya kasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian, serta menyebarluaskan dan mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan dan memperkaya kebudayaan nasional. Ini berarti kinerja akademik dituntut dilaksanakan secara kompetitif dengan kualitas unggul. Kinerja akademik yang tidak berorientasi pada kualitas unggul, tidak saja akan tertinggal dalam persaingan tetapi juga akan bergantung pada dunia luar yang lebih maju.
Perubahan lingkungan dan masyarakat baik yang disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal, membawa dampak pada perubahan di bidang pendidikan nasional pada umumnya dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Perkembangan masyarakat yang semakin komplek menuntut Perguruan tinggi memiliki dan mengembangkan budaya akademik yang dapat membentuk mahasiswa agar memiliki jatidiri dan kompetensi dibidangnya. Menurut Tylor, sebagai mana dikutip oleh Brown (1871), budaya adalah ”the complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society” (sekumpulan pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat, kapabilitas, dan kebiasaan yang diperoleh seseorang sebagai anggota sebuah perkumpulan atau komunitas tertentu). Dengan demikian budaya akademik berarti apa yang dipelajari oleh mahasiswa selama periode waktu tertentu dari Universitas, Fakultas atau Jurusannya. Pengembangan budaya akademik ini didasarkan atas dua tantangan yang selalu dihadapi oleh pendidikan tinggi dalam penyelenggaraan pendidikannya yaitu tantangan yang bersifat internal dan eksternal.
Tantangan faktor internal menunjuk pada adanya perubahan sumberdaya manusia hasil didikan Perguruan Tinggi yang semata-mata tidak hanya berdasarkan pada persyaratan penguasaan ilmu dan ketrampilan, tetapi juga pada persyaratan sikap dan semangat belajar, pengenalan bidang lapangan pekerjaan dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikannya serta adanya semangat otonomi sesuai dengan UU No.32 tahun 2004. Sedangkan tantangan yang bersifat eksternal menunjuk pada adanya persaingan tenaga kerja yang menglobal, tuntutan pendidikan tinggi yang humanis, internasionalisasi pendidikan yang bersifat lintas negara yang dalam era globalisasi disebut dengan istilah 'etnoscapes'.
Guna mencapai tujuan pendidikan, salah satu fator penting dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi harus didukung oleh sistem organisasi pendidikan yang baik, sarana dan prasarana yang memadai (kualiatas SDM dan fasilitas yang dibutuhkan untuk mendukung proses belajar dan mengajar), juga dipengaruhi oleh fator kurikulum yang tepat.
Merujuk pada redaksi UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab VI bagian ke empat pasal 19 bahwasanya mahasiswa itu sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa/ murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan secara harfiah, mahasiswa” terdiri dari dua kata, yaitu Maha yang berarti tinggi dan Siswa yang berarti subyek pembelajar sebagaimana pendapat Bobbi de porter, jadi kaidah etimologis menjelaskan pengertian mahasiswa sebagai pelajar yang tinggi atau seseorang yang belajar di perguruan tinggi/ universitas.
Namun jika kata mahasiswa dimaknai sebagai subyek pembelajar saja, amatlah sempit sebab meski diikat oleh suatu definisi study, akan tetapi mengalami perluasan makna mengenai eksistensi dan peran yang dimainkan dirinya. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, mahasiswa tidak lagi diartikan hanya sebatas subyek pembelajar (study), akan tetapi ikut mengisi definisi learning. Mahasiswa adalah seorang pembelajar yang tidak hanya duduk di bangku kuliah kemudian mendengarkan tausiyah dosen, lalu setelah itu pulang dan menghapal di rumah untuk menghadapi ujian tengah semester atau Ujian Akhir semester. Mahasiswa dituntut untuk menjadi seorang simbol pembaharu dan inisiator perjuangan yang respect dan tanggap terhadap isu-isu sosial serta permasalahan umat manusia.
Apabila kita melakukan kilas balik, melihat sejarah, peran mahasiswa acapkali mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, mulai dari penjajahan hingga kini masa reformasi. mahasiswa bukan hanya menggendong tas yang berisi buku, tapi mahasiswa turut angkat senjata demi kedaulatan bangsa Indonesia. Dan telah menjadi rahasia umum, bahwasanya mahasiswa lah yang menjadi pelopor restrukturisasi tampuk kepemimpinan NKRI pada saat reformasi 1998. Peran yang diberikan mahasiswa begitu dahsyat, sehingga sendi-sendi bangsa yang telah rapuh, tidak lagi bisa ditutup-tutupi oleh rezim dengan status quonya, tetapi bisa dibongkar dan dihancurkan oleh Mahasiswa.
Mencermati alunan sejarah bangsa Indonesia, hingga kini tidak terlepas dari peran mahasiswa, oleh karena itu mahasiswa dapat dikategorikan sebagai Agent of social change (Istilah August comte) yaitu perubah dan pelopor ke arah perbaikan suatu bangsa. Kendatipun demikian, paradigma semacam ini belumlah menjadi kesepakatan bersama antar mahasiswa (Plat form ), sebab masih ada sebagian madzhab mahasiswa yang apriori ( cuek ) terhadap eksistensi dirinya sebagai seorang mahasiswa, bahkan ia tak mau tahu menahu tentang keadaan sekitar lingkungan masyarakat ataupun sekitar lingkungan kampusnya sendiri. Yang terpenting buat mereka adalah duduk dibangku kuliah menjadi kambing conge dosen, lantas pulang duluan ke rumah.
Padahal, mahasiswa adalah sosok yang semestinya kritis, logis, berkemauan tinggi, respect dan tanggap terhadap permasalahan umat dan bangsa, mau bekerja keras, belajar terus menerus, mempunyai nyali (keberanian yang tinggi) untuk menyatakan kebenaran, aplikatif di lingkungan masyarakat serta spiritualis dan konsisten dalam mengaktualisasikan nilai-nilai ketauhidan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan Konsep itulah, mahasiswa semestinya bergerak dan menyadari dirinya akan eksistensi ke-mahahasiswaan nya itu. Belajar tidaklah hanya sebatas mengejar gelar akademis atau nilai indeks prestasi (IP) yang tinggi dan mendapat penghargaan cumlaude, lebih dari itu mahasiswa harus bergerak bersama rakyat dan pemerintah untuk membangun bangsa, atau paling tidak dalam lingkup yang paling mikro, ada suatu kemauan untuk mengembangkan civitas/ perguruan tinggi dimana ia kuliah. Misalnya dengan ikut serta/ aktif di Organisasi Mahasiswa, baik itu Organisasi intra kampus ( BEM dan UKM ) ataupun Organisasi Ekstra kampus, serta aktif dalam kegiatan-kegiatan lain yang mengarah pada pembangunan bangsa.

BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN BUDAYA AKADEMIK 

I. Definisi Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

II. Definisi Akademik
Kata akademik berasal dari bahasa Yunani yakni academos yang berarti sebuah taman umum (plasa) di sebelah barat laut kota Athena. Nama Academos adalah nama seorang pahlawan yang terbunuh pada saat perang legendaris Troya. Pada plasa inilah filosof Socrates berpidato dan membuka arena perdebatan tentang berbagai hal. Tempat ini juga menjadi tempat Plato melakukan dialog dan mengajarkan pikiran-pikiran filosofisnya kepada orang-orang yang datang. Sesudah itu, kata acadomos berubah menjadi akademik, yaitu semacam tempat perguruan. Para pengikut perguruan tersebut disebut academist, sedangkan perguruan semacam itu disebut academia.Berdasarkan hal ini, inti dari pengertian akademik adalah keadaan orang-orang bisa menyampaikan dan menerima gagasan, pemikiran, ilmu pengetahuan, dan sekaligus dapat mengujinya secara jujur, terbuka, dan leluasa.

III. Membangun Budaya Akademik
Di tahun 1997 yang lalu, masalah budaya akademik yang cenderung sulit berkembang di perguruan tinggi Indonesia, telah menjadi topik perbincangan. Beberapa pakar pendidikan meyakini bahwa kemunduran kultur akademik bukan hanya karena pengaruh birokrasi pendidikan tetapi juga akibat keadaan internal perguruan tinggi itu sendiri. Di antaranya yang menjadi bahan polemik adalah masalah mataramisme yang mendarah daging dalam interaksi sosiologis di setiap perguruan tinggi.
Hak milik yang paling berharga bagi suatu perguruan tinggi adalah kebebasan, otonomi, dan budaya akademik (academic culture). Milik yang paling berharga ini menyadarkan kita akan misi undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, peraturan pemerintah nomor 60 tahun 1999 tentang pendidikan tinggi dan PP nomor 61 tahun 1999 tentang pergruruan tinggi negeri sebagai badan hukum (BHMN). Landasan konstiutusional itu merupakan nilai yang harus dijaga, dibangun, dan dikembangkan secera terencana, terarah, dan berkesinambungan. Dalam hal ini, perguruan tinggi mempunyai karakteristik yang khas dan harus menjadi panutan pihak luar.
Budaya akademik sebagai suatu subsistem perguruan tinggi memegang peranan penting dalam upaya membangun dan mengembangkan kebudayaan dan peradaban masyarakat (civilized society) dan bangsa secara keseluruhan. Indikator kualitas PT sekarang dan terlebih lagi pada milenium ketiga ini akan ditentukan oleh kualitas civitas akademika dalam mengembangkan dan membangun budaya akademik ini.
Budaya akademik sebenarnya adalah budaya universal. Artinya, dimiliki oleh setiap orang yang melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik. Membangun budaya akademik PT merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Diperlukan upaya sosialisasi terhadap kegiatan akademik, sehingga terjadi kebiasaan di kalangan akademisi untuk melakukan norma-norma kegiatan akademik tersebut.
Jika sosialisasi tersebut dilakukan secara kontinu, maka ia akan menjadi sebuah tradisi dan budaya bagi individu-individu dalam masyarakat kampus. Norma-norma akademik merupakan hasil dari proses belajar dan latihan dan bukan merupakan bawaan lahir.
Pemilikan budaya akademik seharusnya menjadi idola semua insan akademisi PT, yakni dosen dan mahasiswa. Derajat akademik tertinggi bagi seorang dosen adalah dicapainya kemampuan akademik pada tingkat guru besar (profesor). Sedangkan bagi
mahasiswa adalah apabila ia mampu mencapai prestasi akademik yang setinggi-tingginya.
Bagi dosen, untuk mencapai derajat akademik guru besar, ia harus membudayakan dirinya untuk melakukan tindakan akademik pendukung tercapainya derajat guru besar itu. Ia harus melakukan kegiatan pendidikan dan pengajaran dengan segala perangkatnya dengan baik, dengan terus memburu referensi mutakhir. Ia harus melakukan penelitian untuk mendukung karya ilmiah, menulis di jurnal-jurnal ilmiah, mengikuti seminar dalam berbagai tingkat dan forum, dan lain-lain. Ia juga harus melakukan pengabdian pada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kesejahteraan masyarakat.
Bagi mahasiswa, faktor-faktor yang dapat menghasilkan prestasi akademik itu ialah terprogramnya kegiatan belajar, kiat untuk memburu referensi aktual dan mutakhir, diskusi substansial akademik, dan sebagainya. Dengan melakukan aktivitas seperti itu diharapkan dapat dikembangkan budaya mutu (quality culture) yang secara bertahap dapat menjadi kebiasaan dalam perilaku tenaga akademik dan mahasiswa dalam proses pendidikan di perguruan tinggi.
Oleh karena itu, tanpa melakukan kegiatan-kegiatan akademik, mustahil seorang akademisi akan memperoleh nilai-nilai normatif akademik. Boleh jadi ia mampu berbicara tentang norma dan nilai-nilai akademik tersebut di depan forum namun tanpa proses belajar dan latihan norma-norma itu tidak pernah terwujud dalam praktik kehidupan sehari-hari. Bahkan sebaliknya, ia tidak segan-segan melakukan pelanggaran dalam wilayah tertentu -- baik disadari maupun tidak disadari.
Mungkin juga yang terjadi nilai-nilai akademik hanya menyentuh ranah kognitif, tidak sampai menyentuh ranah afektif dan psikomotorik. Fenomena semacam ini dapat saja terjadi pada seorang akademisi, yang selamanya hanya menitipkan nama dalam melaksanakan kuliah, penulisan karya ilmiah, penelitian, pengabdian masyarakat, dan akhir-akhir ini sering terjadi pembelian gelar akademik yang tidak jelas juntrungnya.
Kiranya, dengan mudah disadari bahwa PT berperan secara instrumental dalam mewujudkan upaya dan pencapaian budaya akademik tersebut. Perguruan tinggi merupakan wadah pembinaan intelektualitas dan moralitas yang mendasari kemampuan penguasaan ipteks dan budaya dalam pengertian yang luas.
Sebagaimana tersurat dalam PP No. 60 Tahun 1999 pasal 2 bahwa PT sebagai subsistem pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut: (1) menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan/atau menciptakan ipteks; (2) mengembangkan dan menyebarluaskan ipteks serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Peranan pengembangan kebudayaan ini bukan hanya tercermin dalam kesempatan sivitas akademika untuk mempelajari dan mengapresiasi budaya pertunjukan melainkan juga pengembangan dan apresiasi budaya perilaku intelektual dan moral masyarakat akademik dalam menyongsong keadaan masa depan.
Pembinaan dan pengembangan apresiasi disiplin, rasa tanggung jawab, keinginan menghasilkan suatu karya inovatif dan kreatif yang terbaik dan sebagainya seringkali dengan efektif diwujudkan melalui pengembangan contoh keteladanan. Keinginan menghasilkan sesuatu yang lebih baik, terjadinya suasana dan budaya akademik sesama sivitas akademika dan sebagainya dapat menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran internal pada masing-masing sivitas akademika.

Budaya "Literacy"

Sebagian orang mengatakan bahwa budaya di negeri ini adalah budaya lisan (orality) dan bukan budaya keberaksaraan (literacy). Jauh sejak zaman kuno, kurang sekali peninggalan sejarah kita dalam bentuk tulisan (prasasti, naskah), dan lebih banyak dalam bentuk cerita lisan (folklore), yang diwariskan turun-temurun. Akibatnya, kondisi seperti ini terus berlangsung sampai sekarang ini.
Di kalangan intelektual, seperti para akademisi PT, gagasan lebih sering disampaikan secara lisan melalui seminar atau diskusi, yang seringkali tidak disertai dengan bahan tulisan. Membuat karya tulis ilmiah masih merupakan pekerjaan yang dipandang berat bagi sebagian orang, termasuk para mahasiswa dan dosen PT (Supriadi, 1997: 109).
Budaya akademik PT yang paling mendasar adalah budaya keberaksaraan (literacy). Masyarakat Barat sejak abad ke-16 sudah membudayakan budaya keberaksaraan ini. Akibatnya, kebudayaan dan peradaban mereka maju pesat dalam hal
penguasaan ipteks. Satu hal yang menonjol dalam masyarakat Barat adalah sikap individualisasi. Masyarakat terpecah-pecah dalam sejumlah individu, yang sedikit sekali menunjukkan koherensi, kebersamaan, dan solidaritas, apalagi kegotongroyongan. Sehingga, terjadi gejala-gejala alienasi, kehilangan solidaritas, dan kebersamaan. Dampaknya cukup besar pada aspek ekonomi, sosial, dan budaya, yang pada gilirannaya hubungan resiprokal sebagai aspek dan gejolak itu mudah ditentukan. Namun demikian, budaya keberaksaraan merupakan faktor yang sangat esensial dalam seluruh proses individualisasi ini.
Individualisasi dalam masyarakat Indonesia termasuk PT masih mengalami stagnasi. Kemampuan untuk melahirkan pemikiran yang berbeda seringkali mendapat ganjalan dan keterasingan, bahkan dikucilkan. Saat ini disinyalir budaya keseragaman di PT masih subur. Hal ini tentu berpengaruh pada pola pikir dan perilaku setiap individu. Jika mahasiswa mempunyai daya pikir yang berbeda dengan dosennya, ia mendapatkan perlakuan yang kurang baik. Ada kemungkinan, kebebasan dan budaya akademik potensial ini dicampuri oleh negara (kekuasaan), perusahaan, swasta, dan lembaga-lembaga lain serta individu tertentu yang berkepentingan.
Kembali pada awal tulisan ini, dengan diberlakukannya peraturan pemerintah nomor 61 tahun 1999 tentang PT sebagai badan hokum milik negara (BHMN), -- yang saat ini sedang diujicobakan di empat PTN (UI, IPB, ITB, dan UGM), menyusul USU dan UPI-- mudah-mudahan PT kita di masa depan memiliki hak otonom yang mandiri, bebas dari campur tangan penguasa, dan memiliki budaya akademik menuju masyarakat yang berbudaya dan berperadaban tinggi.

BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan, organisasi pendidikan harus memiliki core value and concepts dan menerapkan standar mutu yang dapat mendorong untuk mendapatkan hasil yang maksimal, ketenagakerjaan yang mensyaratkan peningkatan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan tuntutan global. Melalui upaya yang profesional seperti yang diuraikan di atas, dapat dibangun dan dikembangkan budaya akademik yang sesuai dengan kebutuhan tuntutan global yang dapat dipedomani oleh mahasiswa.
Berdasarkan pada uraian di atas, tantangan ke depan bagi lulusan PT di Indonesia adalah bahwa lulusan Ekstensi dituntut secara kompetitif dengan kualitas unggul sesuai dengan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi mampu menghadapi dan memecahkan permasalahan di masyarakat.
Guna mencapai tujuan pendidikan, salah satu fator penting dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi harus didukung oleh sistem organisasi pendidikan yang baik, sarana dan prasarana yang memadai (kualiatas SDM dan fasilitas yang dibutuhkan untuk mendukung proses belajar dan mengajar), juga dipengaruhi oleh fator kurikulum yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA
  • Fajar. Mahasiswa dan Budaya Akademik. 2002. Bandung, Rineka.
  • Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. 2006. Bandung:Remaja Rosdakarya.
  • Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 056/U/1994 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Belajar Mahasiswa
  • Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Belajar Mahasiswa
  • Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi;
  • Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 178/U/2001 tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Pendidikan Tinggi
  • Pengembangan Kurikulum Program S 1 FISIP UNP AD Tahun 2000 -2006

0 komentar:

Posting Komentar